Introjection

Penulis: Rio Dwisandy

Pada bahasan pada artikel sebelumnya yakni berjudul “Menyentuh rasa” (Touch The Feeling), dan saat ini, saya akan membahas poin kedua atau poin lanjutan dari dasar atau asal bagaimana seorang fotografer dapat ‘menampilkan’ sebuah karya. Kalau kita melihat judul dari tulisan saat ini adalah introjections kalau kita ‘pecah’ menjadi intro (awal atau waktu sebelum terjadinya sesuatu) dan jection (suntikan, masukan atau bahasa lainnya dari input).

Apabila dilihat dari etimologi tersebut maka kita dapat mengerti bahwa seorang fotografer haruslah tahu apa yang akan dilakukan pada obyek sebelum difoto. John Sexton dalam salah satu bukunya yang berjudul “Dengarlah pepohonan” dapat menjelaskan bagaimana seorang fotografer mengadakan pendekatan dengan obyek-obyek. Introjection tidaklah sama dengan projection. Lihat dan dengarkan, biarkan obyek melihat dan bicara kepadamu untuk mengungkapkan kehadiran dan esensinya. Artinya (perbedaannya) kalau projection, berasal dari dalam diri si fotografer sebagai pokok utamanya. Tapi kalau Introjection, si fotografer ‘mengikuti’ dan menangkap esensi dari obyek-obyek yang ada disekitarnya atau faktor utamanya adalah dari obyek dan bukan si fotografernya.

Jangan diartikan bahwa bagian ini obyek menjadi ‘Penguasa’ atau dimasukkan dalam area rohani yang mengatakan bahwa ‘tuan’ para orang pencetus ide ini adalah benda-benda. Akan tetapi yang sesungguhnya adalah Tuhan Sang Pencipta membuat karyaNya untuk manusia belajar mengungkapkan lewat karya tangannya. Pada bagian ini memang sangatlah sulit, karena membutuhkan pendengaran, kesabaran serta ketekunan yang tinggi dalam mengerti obyek-obyek tersebut. Sehingga si fotografer mendapatkan atau menghasilkan sebuah karya ‘sama’ dengan apa yang dia dapatkan lewat obyek-obyek tersebut. Tidaklah aneh kalau seseorang menempelkan wajahnya di kamera dan melihat pada viewfinder dengan berlamalama, hanya untuk memotret 1 frame sebuah obyek. Atau memotret 1 obyek dengan ratusan frame, untuk mendapatkan 1 frame foto yang pas.

Dalam tulisannya yang tidak dipublikasikan (Visualization Manual, 1975), John Sexton melatih dirinya dengan duduk diam didepan obyek, menutup matanya, mendengarkan dan biarkan obyek-obyek berbicara kepadanya. Dalam bahasa sederhananya, kita mencoba ‘merekam’ apa yang baik atau ‘pantas’ dari obyek. Saya telah berhadapan dengan begitu banyak fotografer dan calon fotografer atau orang-orang yang hobby akan dunia fotografi. Sangatlah rumit dalam membicarakan hal ini, itu sebabnya saya biasanya membicarakan hal-hal yang ‘ringan’ dalam dunia fotografi apabila bertemu dengan teman-teman (calon fotografer, fotografer dan penghobi fotografi). Jarang sekali, pribadi yang sangat tertarik akan fotografi yang ‘dalam’. Akan tetapi, lewat tulisan ini saya berharap teman-teman mendapatkan ‘tambahan’ pengetahuan. Sehingga dapat digunakan ‘modal’ untuk beranjak maju dalam dunia fotografi.

Selamat berkarya. Dan maju fotografi Indonesia.





Jika anda tertarik untuk mengikuti perkembangan studio kami dan ingin mendapatkan info-info terbaru dari kami, ikuti media sosial kami di bawah ini:

Twitter: RioDStudio
Instagram (Foto & Video): riodwisandybrandingstudio
Instagram (Desain): riodwisandydesignstudio

Comments